Tuesday With Morrie
Mitch Albom
Kompas Gramedia
Rp. Hadiah
xx + 209 hlm
Hidup tak selalu tentang kebahagiaan selama hidup. Bahagia menanti kematian juga sesuatu yang menyenangkan.
Buku ini mengisahkan hubungan antara mahasiswa dan profesornya yang di masa akhir hayatnya menderita penyakit amyotrophic lateral (ALS), sebuah penyakit ganas yang menyerang sistem saraf. Mahasiswa ini menjadi satu-satunya mahasiswa yang setia mendengarkan perkuliahan profesornya hingga ajal menjemput sang professor. Perkuliahan kehidupan ini selalu dijalankan setiap hari Selasa.
Aku, yang menuliskan Kembali kisah ini, sekali lagi belum menyelesaikan hingga akhir halaman. Aku masih menyelesaikan setengah dari 200 halaman buku ini. Buku yang sebelumnya ku kira tidak menarik, ternyata memberikan banyak pelajaran, hingga tak sabar aku menuliskan kesanku terhadap novel based on true story ini.
Sang professor bernama Morrie, mendengar penyakit yang dideritanya, tidak membuatnya gentar menghadapi sisa umurnya. Ia menyatakan bahwa ia ingin sekali membuktikan bahwa kata “sekarat” tidak sinonim dengan “tidak berguna”.
Bagi sang mahasiswa, Mitch, novel ini merupakan tesis kehidupan yang akhirnya bisa ia selesaikan.
Morrie, merupakan professor sosiologi, yang mengajar dengan sangat terbuka dan nyaman. Ia mengajarkan tentang tentang “bersikap manusiawi” dan “peduli kepada orang lain”.
Di lain waktu, ketika ia di wawancara oleh sebuah stasiun televisi, di saat ia sedang menunggu kehidupan abadinya tiba, ia menyatakan “Terima apapun yang sanggup kau kerjakan dan apa pun yang tak sanggung kau kerjakan”; “Terimalah masa lalu sebagai masa lalu, tak usah menyangkalnya atau menyingkirkannya”; “Belajarlah memaafkan diri sendiri dan memaafkan orang lain”; “Tak ada istilah terlambat untuk memulai”.
Kemudian bia berkisah Kembali, ketika pertama kali ia mendengar penyakit ganas tersebut apa yang ada di dalam benaknya adalah; Aku memutuskan untuk terus hidup --- atau setidaknya mencoba untuk terus hidup --- dengan cara yang aku inginkan, secara bermartabat, dengan keberanian, dengan rasa humor, dengan mantap.
Aku sang pembaca novel, Kembali disadarkan dengan kalimat “APA KAU MENERIMA DIRIMU APA ADANYA?”. Ini tamparan keras bagiku, ku pikir aku tak perlu mempertanyakan kenapa orang lain tak menerimaku, di saat aku, belum mampu menerima keadaan diriku apa adanya. Aku yang masih menyangkal banyak hal, sesekali senang berada di lantai atas gedung, dan sesekali berpikir untuk mengakhirinya di sana. Waw …
Jawabannya; … Kita harus cukup Tangguh untuk berani mengatakan bahwa bila budaya itu tidak sesuai … , ciptakan budaya kita sendiri …
Aku sang pembaca memaknainya sebagai, berani mengambil keputusan dan bertanggung jawab setelahnya, dan menjadi kuatlah.
THE TENSSION OF OPPOSITE
“Hidup ini merupkan rangkaian peristiwa menarik dan mengulur. Suatu saat kita mengerjakan satu hal, padahal kita perlu mengerjakan sesuatu yang lain. Ada sesuatu yang membuat kita sakit, namun kita tahu bahwa seharusnya tidak demikian. Kita menerima hal-hal tertentu secara begitu saja, bahwa kita tahu bahwa seharusnya kita tidak pernah menikmati sesuatu secara Cuma-Cuma”
Kalimat terakhir yang akan Aku kutip adalah
“Aku sedang menderita, aku merasa lebih akrab dengan orang-orang yang juga menderita”
Dalam kutipan dari pernyataan seorang psikolog Aku menambahkan untuk pernyataan di atas, “Obat yang sama belum tentu dapat mengobati penyakit yang sama untuk orang yang berbeda, karena ketahanan tubuh setiap orang berbeda-beda”.
Kepada Sang Pemberi buku, aku ucapkan terima kasih.
#8